Karakteristik & 4 Pola Teks Monolog Singkat Perihal Ibu Dan Ayah

Teks wacana Monolog kerap diekspresikan atau dituangkan dengan emisional dalam alur teater sehingga dalam karya monolog baik dalam Pendidikan yang di karyakan secara singkat/pendek atau dalam bentuk video. Biasanya karya monolog ada yang mempunyai waktu yang cukup usang diantaranya karya monolog 1 menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit 10 menit dan terdapat juga referensi monolog yang terdiri 4 orang, 3 orang, 2 orang ataupun satu orang. Selain itu, sebagaimana dikemukakan paragraf awal dimana monolog, pelaku atau pengarang menuangkan emisionya baik dalam karya paragraf monolog yang sifatnya sedih, depresi, lucu, senang, cinta

Ada banyak contoh-contoh monolog yang kerap menjadi pencaharian publik. Misalnya referensi monolog Pendidikan atau monolog wacana sekolah, mimpi, referensi monolog wacana ibu atau ayah, orang gila, pondok indah mall 3, coffe company, Jakarta, referensi monolog putu wijaya, monolog cermin, monolog apa itu sekolah, monolog kasir kita. Selain itu, dalam membahasakan monolog sanggup dilakukan dengan Bahasa sesuai dengan yang diingikan contohnya referensi monolog Bahasa inggris dan juga Bahasa jawa. 

Pengertian Monolog: Apa Itu Monolog?

Secara etimologi, pengertian monolog yaitu istilah keilmuan yang diambil dari kata 'Mono' yang diartikan sebagai 'satu' dan 'log' dari kata 'logi' yang berarti 'ilmu'. Sedangkan pengertian monolog secara terminologi atau harfiah yaitu suatu ilmu terapan yang mengajarkan akan seni tugas yang membutuhkan satu orang atau obrolan bisu untuk melaksanakan adegan ataupun sketsanya. Pada umumnya, monolog lebih ditujukan pada acara seni khususnya seni tugas dan juga teater.

Asal Muasal Monolog diperkenalkan tahun 60-an. Latar belakang hadirnya monolog tahun tersebut diperkenalkan atau dicontohkan melalui pertevisian yang tidak mengenal dubbing atau pengisian suara. Sehingga dalam sejarah monolog, dikala itu monolog banyak dipraktikkan untuk membuat suatu film-film komedi ataupun horror. 

Asal muasal monolog dilatar belakangi atau digagas oleh Charlie Chaplin yang diperkenalkan  tahun 60-an tepatnya 1964 di Hollywood. Penggagasan Monolog berkembang hingga dijadikan sebagai sarana seni dan tetater dan sudah menjadi salah satu teori ataupun pembelajaran dalam karya seni teater. 

Contoh Teks Monolog Singkat Tentang Ayah dan Ibu

Cakapan tokoh demikian yang disebut dengan Monolog dan sebab panjangnya cakapan tersebut, maka emosi perasaan dan huruf tokoh itu pun berubah-ubah sesuai dengan pokok pembicraan. Adanya suatu perubahaan emosi dan huruf demikian yang dilatihkan oleh Aktor. DInamika perubahan tersebut sangat menarik dan menantang untuk dimainkan.

Daya tarik permainan suatu kator dalam latihan monolog tersebut berujuan dalam melahirkan monolog secara mandiri. Dalam cerita, naskah atau karya monolog, maka pengarang membuat dongeng monolog yang lepas dan bukan lagi merupakan serpihan dari sebuah lakon.

Pada akhirnya, dalam karya monolog tersebut permainan pemain drama seorang diri ini bermetamorfosis satu bentuk pertunjukan teater. Perkembangan monolog tanpa henting dan terus berkreasi, hingga memunculnya soliloquy dan monoplay.

Jika dalam monolog, pemain drama berpura-pura atau sanggup dikatakan sedang berada di hadapan tokoh atau orang lain, maka dalam soliloquy diartikan tokoh tampil sendirian di atas panggung sehingga bisa dengan bebas mengungkapkan isi hatinya, rahasia-rahasia hidupnya, rencana jahatnya, dan harapan-harapannya. Sedangkan pengertian Monoplay yaitu pemain drama harus bermain drama seorang diri. Kadang kala ia menjadi tokoh tertentu tapi pada satu dikala ia menjadi tokoh yang lain.

Contoh Naskah Monolog Pendek

Sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa actor/penulis sanggup mengeksrepsikasn diri dan emosi melalui monolog tersebut sehingga dalam sebuah karya atau teks monolog, pendengar sanggup tersentuh akan alur yang sedih, lucu, senang, depresi, murka baik dengan 1, 2,3, 4, paragraf atau secara singkat/pendek. Selain itu, terdapat banyak contoh-contoh monolog yang menggambarkan wacana ibu, ayah dan tempat contohnya Jakarta dengan pembahasaan baik dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris atau dalam bentuk Bahasa kedaerahan contohnya Jawa. Adapun referensi monolog tersebut diantaranya:

1. Contoh Teks Singkat Monolog Tentang Ibu 

Monolog Kasih Buah Ibu 
Tinta: Mimi Atieqa binti Noor Azam
IPT: KPTM Bangi
Uweekk..uweeekk..Saat tangisan memecah keheningan malam, Tika insan lain diulit mimpi indah, Tabahnya hati ibu, kuatnya kudrat mu, Kepenatan mencengkam seakan hilang, Didodoi lembut terhenti tangisan, Lantaran cinta ibu luntur segalanya, Dalam pekat malam ibu setia di sisi, Mendodoi lembut lena berpanjangan.  
Kriiiing..!!! Bunyi jam mengejut lena ibu, Tidurnya hanya seketika, Bagi ibu dunia yaitu ladang, Amalan membuahkan hasil di syurga, Berselimut kegigihan dan istiqamah berpanjangan, Tahajud ibu penuh kesyahduan, Kekhusyukkan dan kehambaan yang mendalam buat Pencipta Cinta, Tangisan insaf diulit kesyukuran tidak terhingga, Bertafakur, mengharap mawaddah Ilahi berpanjangan, Seteguk doa tulus lapang dada buat permata hati, Pejuang agama, pembela negara, Anakku, inilah impian ibu padamu.  
Aliff..Baa..Taa.. Tekun ibu mentarbiyah anak-anaknya, Dengan ilmu ukhrawi dan duniawi , Harapan ibu berbunga sentiasa, “Ya Rabbi, jadikanlah permata hatiku ini, Mujahid dan mujahidah yang soleh dan solehah, Yang menghampar segenap cinta dan jiwa raganya, Hanya untukMU ya Allah..” Ibu pintal dugaan menjadi benih ketabahan, Ibu anyam kedukaan menjadi penenang jiwa, Ibu simpan penderitaan demi kebahagiaan anak-anak, Keringat ibu, sakit ibu, Menjadi bukti kasih yang tiada gantinya. 
Kini, saya anakmu ibu, Dengan kasihmu saya membesar, Dengan segenggam sabar yang kamu tabur, Benih-benih keyakinan yang ibu semai, Kasih sayangmu tidak pernah luntur bersemadi di jiwaku, Anakmu ini berjanji duhai ibu, Akanku genggam wasilah usaha ini, Tarbiyah itu hidupku selamanya. Terima kasih ibu, Semoga ibu dirahmati bersama lembayung kasih Ilahi yang berpanjangan, Sepanas dan sehangat kasih ibu kepadaku, Walau sekarang ibu tiada lagi di sisiku, Amanah dan nasihatmu ku pegang utuh, Terima Kasih Ibuku Sayang.
2. Contoh Teks Pendek Monolog Tentang Ibu  

Isu Si Susi
Oleh: Ruang Rumpi
Rasanya tidak ada guna menghabiskan waktu mencari siapa yang bisa disalahkan atas insiden ini. Yang harus bertanggung jawab bukan saya atau pria itu, melainkan kami berdua. Toh faktanya bayi tak bisa tumbuh hanya dari ovum atau hanya dari sperma. 
Meski memang, yang paling terkena imbas yaitu saya sebagai si empunya rahim. Perutku akan menggembung seiring perkembangan si jabang bayi. Mungkin itu yang bikin pria lebih gampang kabur sedangkan wanita tidak. Tak ada cara bagi seorang pun untuk bisa kabur dari sesuatu yang ia bawa ke mana-mana, dalam dirinya. 
Percuma juga menyalahkan perusahaan kondom, toh mereka memang tak pernah menjamin seratus persen produknya antibocor. 
Ketika dua harus merah itu pertama kali tertangkap mataku, layu tubuhku. Kaget, tidak menyangka, resah selanjutnya harus melaksanakan apa. Ada sensasi aneh yang menghinggapi tubuhku malam itu. Sesuatu yang membuatku merinding hebat hingga tak bisa tidur. 
Kata “Ibu” seolah bergema dalam tubuhku. Menyadari bahwa ada sesuatu yang tumbuh jauh di balik kulit perut membuatku takjub sekaligus takut. Kini, saya bukan sekadar wanita atau insan biasa. Kini, saya yaitu seorang ibu. Rahimku menjadi tempat terbentuknya sebuah kehidupan baru. 
Tetapi, ketakjuban itu kemudian luntur oleh rasa getir yang menghantamku. Betapa masyarakat begitu bakir memenjara keindahan dengan aneka macam aturan. Karena saya dan pria itu tidak terikat perkawinan, kehamilanku akan dianggap sebagai aib, bukan keajaiban alam. Janin yang tumbuh di rahimku akan disebut sebagai anak haram, bukan sebagai nyala kehidupan yang sudah sewajarnya dirayakan. Perempuan-perempuan sepertiku diajari untuk menunduk malu dan mengutuk diri sendiri. 
Mungkin ada baiknya kalau saya memberitahu ibu wacana kehamilanku. Sejujurnya, saya ingin meminta saran darinya. Aku tahu, ada kemungkinan ia murka besar atau bahkan mengusirku. Tetapi bagaimanapun juga, ibuku yaitu seorang “Ibu”. Nyala kehidupan pernah menumpang tumbuh di dalam rahimnya. Ia tentu tahu betapa indah perasaan itu. Aku tak takut diusir, saya hanya takut nyala itu mati.
3. Contoh Teks Monolog Sedih Tentang Ayah 

Hujan dan Rindu
Oleh: Cili 
Setiap mendengar informasi kematian, ia menutup rapat-rapat telinganya. Mencegah ingatannya mengoyak bekas luka yang belum jua kering.

Perempuan itu terbangun. Kakinya menyambar lantai dan mengayun sempoyongan. Pandangannya menalar jauh ke luar jendela. Semalaman hujan… batinnya. Matanya yang dulu berbinar sekarang sendu tanpa isyarat. Lalu bulir-bulir hangat mengalir dari sudutnya.
Masih tergambar terperinci bagaimana hari kemarin berlalu. Bahkan suara-suaranya ramai terngiang di kepala. Yang paling ia benci yaitu lekuk senyum lelaki itu. Senyum terakhirnya.
Sejak hari itu ia jadi wanita pendiam, tak terdengar lagi celotehan dari bibir merah yang sekarang telah memudar ronanya.

Dibawah naungan langit pekat wanita itu memandang lagi ke luar jendela, lebih jauh. Kali ini sebuah percakapan monolog, “ayah, kamu di situ? Kau ingat suatu malam menyerupai ini kita pernah duduk berbincang di satu meja, kamu dengan kopimu dan saya dengan teh hangatku. Sesekali saya menyeruput kopi hitammu, hanya sekadar untuk menyesap rasa kopi buatanku. Katamu nanti saya tak bisa tidur. Ah, tidak. Selebihnya saya hanya ingin mencoba memahami kepahitan yang kamu teguk di sela kehidupanmu. 
Lalu di sela-sela obrolan pikirku terlintas, bagaimana nanti kalau kamu tak ada? Apa saya bisa mencerna pahit kehidupan semudah kamu meneguk kopimu? Atau menikmati hujan setulus kamu mencicipi tiap tetesannya? 
Tapi bagaimana kalau saya rindu? Seperti dikala ini… menyiksa. Tiap kali harus memaksa hati untuk tidak merindu, saya menderita. 
Apa yang lebih menyakitkan seusai kepergianmu?
Ialah hujan dan rindu yang tiba bersama.”
Sumber: http://www.serlizp.com/hujan-dan-rindu/
4. Contoh Teks Monolog Pendek Tentang Ayah

Untuk Ayahku
Juga
Untuk Ayah dari Ayahku
Oleh: annisarangkuti
Kampung Napa, Tapanuli Selatan, 31 Desember 1941
Perempuan muda itu meringis-ringis memegangi perutnya yang membulat semenjak sembilan bulan lalu. Keringat di dahi dan sekujur tubuhnya membuat rambut dan pakaiannya basah. Pandangannya hampir mengabur sebab menahankan rasa sakit yang sangat. Ia gigit ujung selimutnya sekuat giginya bisa menahan. Saatnya akan tiba. Sang dukun sudah siap dengan tempayan dan berlembar-lembar kain panjang yang seluruhnya berwarna kecoklatan.

Di luar, lelaki berperawakan sedang dengan ujung bibir mencangklong sejumput tembakau membisu di tempatnya duduk. Meski begitu, ia sebenarnya amat gelisah. Pikirannya mondar mandir. Dari tembakau ke istrinya di dalam. Dari istrinya kemudian ke tembakau. Terkadang diselingi monolog wacana dua anaknya yang sekarang sedang bermain di depannya.

Kali ini mereka berdua, Nuraini dan Burhan, tidak berisik. Hanya bermain-main dengan tanah dan sebatang kayu. Tangan-tangan mungil mereka membentuk aneka rupa dengan ujung kayu itu; pohon kelapa, pohon pisang, gunung, atau sawah. Sesekali mereka berseru girang, namun pribadi membisu begitu sekilas memandang Ayah mereka yang sedang menyilang kaki di kursi kayu. Mereka tahu, ibu mereka sedang kesakitan. Maka ketika terdengar bunyi erangan dari dalam tanda mengejan, mereka pun bangun mendekati rumah. Dengan mata kanak-kanaknya, mereka menyiratkan tanya pada sang Ayah.

Sang Ayah hanya tersenyum sedikit, kemudian kembali mencangklong. Sekarang matanya turut gelisah. Bertiga Ayah dan anak itu duduk berdampingan. Raut mereka ikut tegang. Si kecil Burhan yang biasanya sibuk meracau sampai-sampai ikut terdiam. Suara wanita di dalam kamar semakin memilukan. Kaki dan tangan sang Ayah bergerak-gerak kebingungan. Ingin kakinya melangkah saja ke dalam tapi tetap saja ia tak sanggup. Syukurlah, tak menunggu terlalu lama, buyarlah kegelisahan itu dengan bunyi tangisan bayi.

Tanpa suara, buru-buru ia masuk ke dalam. Melewati beberapa sanak keluarga di ruang depan kemudian hilang di balik tirai. Matanya berkaca-kaca memandang istrinya dalam diam. Bergantian pandangannya ke arah sang istri, kemudian si bayi mungil dan dukun beranak. Hanya sedikit bersuara, sang dukun sigap membasuh si bayi mungil di baskom, mengelapnya, kemudian membungkusnya dengan kain panjang. Ia kemudian menaruh bayi merah itu ke sisi sang ibu. Ibu bayi itu masih tergolek lemas. Darah mengalir hingga ke lantai. Itu pekerjaan sang dukun berikutnya. Dengan cepat dibersihkannya serpihan selangkangan wanita itu kemudian di balutnya dengan beberapa tumpuk kain. Bajunya pun diganti perlahan-lahan. Setelah nyaman, barulah bayi itu didekatkan ke pelukannya.

Ayah bayi itu mendekat. Matanya memancarkan kasih yang tak terhingga pada ibu dan anak itu. Ditanyanya kelamin si bayi pada dukun. Senyumnya kemudian mengembang. Anak pria yaitu penerus marga yang selalu ditunggu kehadirannya pada setiap kelahiran. Ia genggam tangan istrinya kemudian dielusnya pipi si bayi. Terlintas sebuah nama yang telah usang menggantung dalam pikirannya, menunggu ditabalkan.

Karakteristik Monolog

Tingkat karakteristik yang memuaskan dari penguasaan berbicara monolog siswa melek harus berbagi keterampilan berikut:
  • Kompilasi teks deskriptif mengungkapkan pendapat mereka, disusun mengikuti rencana atau tidak.Teks sanggup menggambarkan sebuah program ditandai dengan kehadiran orang untuk mengekspresikan kesan mereka. 
  • Pembangunan narasi dan pesan deskriptif pada tema familiar, Anda sanggup mengandalkan gambar, file, presentasi. 
  • Menggunakan pelajaran usulan khas menjadi pesan yang konsisten, menghubungkan mereka bersama-sama.

 Teks wacana Monolog kerap diekspresikan atau dituangkan dengan emisional dalam alur teat Karakteristik & 4 Contoh Teks Monolog Singkat Tentang Ibu dan Ayah
Ilustrasi: Karakteristik & Contoh Teks Monolog Singkat Tentang Ibu dan Ayah

Demikianlah informasi mengenai Karakteristik & 4 Contoh Teks Monolog Singkat Tentang Ibu dan Ayah. Semoga menambah wawasan kita. Sekian dan terima kasih. Salam Berbagi Teman-Teman. 

LihatTutupKomentar